Jumat, 05 Maret 2010

Teori Resepsi Sastra

1. PENGERTIAN
Estetika resepsi atau estetika tanggapan adalah estetika ilmu keindahan yang didasarkan pada tanggapan atau resepsi pembaca terhadap karya sastra. Dari dahulu hingga sekarang karya sastra itu selalu mendapat tanggapan-tanggapan pembaca, baik secara perseorangan maupun secara bersama-sama atau secara masal.
Hans Robert Jauss seorang maha guru sastra universitas Konstanz di Jerman Barat, membawakan pendapatnya dalam sebuah artikel yang terkenal pada akhir tahun 1969 dengan judul Literaturgeschite als Provokation (sejarah sastra sebagai tantangan) (Seger,1980:9,11). Sebelumnya orang menitikberatkan pada karya sastra, pengarang, ataupun hubungan antar karya sastra dengan alam. Tetapi setelah artikel itu muncul orang-orang mulai memperhatikan peran pembaca terhadap makna KS.

2. Orientasi Terhadap Karya Sastra
Menurut Abrams orientasi terhadap KS ada 4 macam
a. KS tiruan alam atau penggambaran alam
b. KS sastra itu merupakan alat untuk menca[pai tujuan tertentu pada pembacanya
c. KS itu merupakan pancaran perasaan , pokoran ataupun penganlaman sastrawan
d. Merupakan sesuatu yang otonomk, mandiri lepas dari alam sekelilinganya, pembaca, maupun pengarangnya.

Dalam hubungan ini estetika resepsi itu termasuk pada orientasi pragmatik (Teeuw, 1983e;59). Karya sastra itu sangat erat hubungannya dengan pembaca, yaitu karya sastra itu ditunjukan kepada pembaca, bagi kepentingan masyarakat pembaca. Di damping itu pembacalah yang menentukan makna dan nilai karya sastra. Karya sastra itu tidak mempunyai arti tanpa pembaaca yang menanggapinya. Karya sastra itu mempunyai nilai karena ada pembaca yang menilai.

3. Dasar-Dasar Teori Sastra Estetika Resepsi
A. Cakrawala Harapan dan Tempat Terbuka
Seorang dengan yang lain itu akan berbeda dalam menanggapi sebuah karya sastra. Begitu juga, tiap periode itu berbeda dengan periode lain dalam menanggapi sebuah karya sastra. Hal ini disebabkanh oleh perbedaan cakrawala harapannya (verwacthinghorizon ata horizon of expectation). Cakrawala inilah yang menjadi harapan-harapan seorang pembaca terhadap karya sastra. Tiap pembaca mempunyai wujud sebuah karya sastra sebelum ia membaca sebuah karya sastra. Dalam arti, seorang pembaca itu mempunyai konsep atau pengertian tertentu mengenai sebuah karya sastra, baik sajak, cerpen, maupun novel. Seorang pembaca itu mengaharapkan bahwa karya sastra yang dibaca itu sesuai dengan pengertian sastra yang dimilikinya. Dengan demikian, pengertian mengenai sastra seorang dengan yang lain itu mungkin berbeda. Lebih-lebih pengertian sastra antara sebuah periode dengan periode lainnya itu akan sangat berbeda. Perbedaan itu disebut perbedaan cakrawala harapan. Cakrawala harapan seseorang ditentukan pendidikan, pengalaman, pengetahuan, dan kemampuan dalam menanggapi karya sastra. Menurut Segers (1978:41) cakrawala harapan ditentukan oleh tiga criteria: 1. oleh norma-norma yang terpancar dari teks-teks yang telah dibaca oleh pembca 2. Ditentukan oleh pengtahuan dan penglaman atas semua teks yang telah dibaca sebelumnya 3. Pertentangan antara fiksi dan kenyataan yaitu kemampuan pembaca untuk memahami baik dalam horison sempit dari harapan-harapan sastra maupun dalam horizon luas dari pengatahuannya tentang kehidupan.
Meskipun ada perbedaan cakrawala itu pembaca yang menentukan karya sastra, tetapi tidak dapat diingkari bahwa dalam karya satra itu ada tempat-tempat terbuka (open plek) yang mengharuskan seorang pembaca untuk mengisinya hal ini disebabkan expresi yang padat, maka yang kecil-kecil tak disebutkan dan juga dengan cerita atau masalah. Hal ini dengan bersifat dengan karya sastra yang mengandung kemungkinan banyak tafsir (poly interpdeteble). Dengan demikian setiap pembaca mengisi kekosongan tersebut. Bahkan iser berkata Makin banyak tempat terbuka maka karya sastra makin bernilai(Segeer, 1980) akatetapi apabila mempunyai tembpat kososng menyebabkan pemabaca tidak bisa mengisinya hal ini menyebabkan kegelapan karya sastra.

B. Metode Estetika Resespsi
Perhatian utama dalam estetika teori resepsi adalah pembaca karya sastra. Hal ini disebabkan bahwa kehidupan historis karya sastra tidak terpikirkan tanpa partisipasi para pembacanya. Mendasarkan diri pada teori bahwa karya sastra itu sejak berdirinya selalu mendapat resepsi atau tanggapan para pembacanya. Menurut Jeuss “apresiasi pembaca pertama terhadap sebuah karya sastra akan dilanjutkan dan diperkaya melalui tanggapan-tanggapan yang lebih lanjut dari generasi ke generasi. Dengan cara ini makna historis karya satra akan ditentukan dan nilai estetiknya terungkap (Jauss, 1974:14). Sebuah karya sastra jauh lebih merupakan orkestrasi yang selalu menyuarakan suara-suara baru diantara para pembacanya, bukan hanya objek yang berdiri sendiri yang memberikan wadah yang sama kepada masing-masing pembaca di setiap periode. Karena itu, sebuah karya sastra harus dimengerti sebagai pencipta dialog maka keahlian filosofis harus didirikan pada pembacaan kembali teks secara terus-menerus. Tidak hanya ada fakta-fakta saja.”

Dalam metode ini diteliti tanggapan-tanggapan setiap periode yaitu tanggapan-tanggapan sebuah karya sastra oleh pembacanya. Pembaca dalam hubungan ini yang dimaksud adalah pembaca yang cakap bukan awam, yaitu para kritikus sastra dan ahli sastra yang dipandang dapat mewakili para pembaca pada periodenya (ahli sejarah, para ahli estetika dan para kritikus (Vodicka-1964:78). Para ahli sastra di setiap periode memberikan komentar-komentar berdasarkan konkretisasi terhadap karya sastra yang bersangkutan. Konkretisasi berarti pengkongkritan makna karya sastra atas dasar pembacaan dengan tujuan estetik.

Proses pembacaan, bagi teori resepsi sastra, selalu bersifat dinamis, pergerakan dan pemikiran yang kompleks sepanjang waktu. Karya sastra sendiri eksis hanya apa yang disebut ahli teori polandia Roman Ingarden sebagai seperangkat ‘scemata’ atau arah yang umum, yang harus diaktualisasikan oleh pembaca. Untuk melakukan ini pembaca akan membawa ‘prapemahaman’ tertentu ke dalam karya, sebuah konteks kepercayaan dan expestasi yang samar-samar, yang di dalamnya pembaca akan memeriksa ciri-ciri karya yang bervariasi. Akan tetapi selagi proses pembacaan berjalan, ekspsedisi tadi sendirinya akan dimodifikasi oleh apa yang kita pelajari, dan lingkaran hermeunetika bergerak dari bagian keseluruhan dan kembali ke bagian yang akan kembali berputar. Sambil membangun pemahaman yang koheren dari teks, pembaca akan menyeleksi dan mengorganisisr elemen-elemen karya-karya yang menjadi satu keseluruhan yang konsisten, meyisihkan berapa elemen dan mengedepankan yang lain, ‘mengkonkertkan’ item-item tertentu dengan cara-cara tertentu; ia akan mencoba menyatukan persepektif yang berbeda di dalam karya secara bersama-sama, atau pindah dari satu persepktif lain demi membangun sebuah ilusi yang terintegrasi.

Pada kenyataannya, teori resepsi Iser didasarkan pada sebuah ideology humanis liberal: kepercayaan bahwa dalam membaca kita harus fleksibel dan berpikiran terbuka, siap untuk mempertanyakan kepercayaan kita dan membiarkannya mengalami transformasi.
Menerangkan fakta bahwa resepsi atas sebuah karya bukan hanya sebuah fakta ‘sternal’ mengenainya, sebuah hal yang bersifat kebetulan tentang kajian buku dan penjualan di toko buku. Resepsi karya adalah dimensi yang membangun karya itu sendiri. Setiap teks karya sastra dibangun dari sebuah pemahaman tentang pembaca potensialnya, mencakup bayangan tentang untuk siapa karya itu ditulis; setiap karya menyusun kode di dalam dirinya tentang apa yang disebut oleh Iser yaitu ‘pembaca tersirat’, mengindikasikan dalam setiap gerakanya jenis ‘penerima tuturan’ yang diantisipasi olehnya (Jean Paul Sartre).

Efek estetik karya sastra sebagai keseluruhan begitu juga konkretisasinya, tunduk kepada perubahan yang terus menerus. Kekuatan sebuah karya sastra tergantung pada kualitas yang dikandung secara potensial karya itu dalam perkembangan norma sastra. Jika karya sastra dinilai positif, bahkan bila norma berubah, itu berarti bahwa karya sastra tersebut mempunyai jangka hidup yang lebih panjang dari pada sebuah karya sastra yang efektifitas estetiknya habis dengan lenyapnya norma sastra pada masanya. (Vodicka,1964:79).

Dengan demikian penelitian dengan metode estetika resepsi seperti juga dikemukakan oleh Segers (1978:49), ialah 1.mengkonstruksi bermacam-macam konkretisasi sebuah karya sastra dalam masa sejarahnya dan 2. Meneliti hubungan diantara konkretisasi-konkretisasi itu disatu pihak dan dilain pihak meneliti hubungan diantara karya sastra dengan konteks historis yang memiliki konkretisasi-konkretisasi itu.
4. PENERAPAN ESTETIKA RESEPSI
Dalam meneliti karya sastra berdasarakan metode estetika resepsi dapat dilakuakan dalam dua cara. Pertama, yaitu Sinkronik ialah cara penelitian resepsi terhadap sebuah karya sastra dalam satu masa atau satu periode. Yaitu yang diteliti di sini resepsi pembaca dalam satu kurun waktu. Namun harus diingat bahwa dalam satu kurun waktu itu biasanya ada norma-norma yang memahami karya sastra. Akan tetapi, tiap-tiap orang mempunyai cakrawala harapan sendiri berdasarkan pengetahuan sendiri. Bahkan juga ideolgi, maka mereka akan menanggapi karya sastra berbeda-beda. Contohnya tanggapan pembaca berpaham ‘seni untuk seni’ akan berbeda dengan tanggapan ‘seni untuk masyarakat’(seni bartends) dan sebagainya.
Konkeretisasi dari masing-masing pembaca dapat diteliti dengan cara pneyebaran angket kepada pembaca sekurun waktu yang dikumpulkan. Akan tetapi, meskipun diketahui konkretisasi pembaca-pembaca terhadap karya sastra dalam suatu kurun waktu, nilai seni karya sastra tersebut belum teruji secara historis. Maka, penelitian secara diakronislah yang akan lebih kuat menunjukan nilai seni sebuah karya sastra sepanjang waktu yang telah dilalui. Kedua, Diakronis yaitu melakukan dengan mengumpulkan tanggapan-tanggapan pembaca ahli sebagai wakil-wakil pembaca dari tiap-tiap periode. Misalnya, bila meneliti konkeretisasi dan nilai Chairil Anwar, dapat diteliti bagaimana resepsi pembaca semasa karya itu terbit, kemudian diteliti resepsi-resepsi pada periode selanjutnya, dan resepsi pada periode sekarang ini terhadap karya-karya tersebut. Maka akan dapat disimpulkan bagaimana nilai estetik sebuah karya sastra berdasarkan resepsi-resepsi pada setiap periode itu __ yang diteliti dasar-dasar yang digunakan oleh pembaca di setiap periode, norma-norma yang menjadi dasar konkretisasinya, dan kriteria apa yang menjadi dasar penelitiannya. Bila sebuah karya sastra dapat diketahui dasar konkretisasinya dan penilaian di setiap periode yang dilalaui maka, dapa disimpulkan nilai estetiknya sebagai karya seni sastra__jika mendapat nilai positif berarti karya asastra tersebut bernilai tinggi.


A. Penelitian Estetika Resepsi Naskah Tulisan tangan Sastra Lama
Sebelum ada percetakan terdapat beberapa versi naskah tulisan tangan dari sebuah karya sastra; hal ini disebabkan penyalinan naskah dengan tulisan tangan yang dilakukan oleh beberapa orang. Versi tersebut pada umumnya menunjukkan adanya perbedaan meskipun bersumber dari satu naskah tertua (Archetype).
Untuk meneliti versi ini biasanya peneliti menggunakan metode perbandingan teks (disebut metode stema). Dengan metode ini diharapkan dapat ditemukan bentuk yang diperkirakan menyamai Archetype-nya, tulisan asli yang tidak ada. Menurut teori ini terdapat kesalahan-kesalahan dalam satu naskah ke naskah yang ditulis ulang yang mungkin akan sangat lain bahkan menyimpang dari naskah aslinya atau Archetype. Akan tetapi berdasarkan teori estetika resepsi mungkin “ kesalahan-kesalahan “ tersebut memang sengaja dibuat oleh para penyalin di setiap periode. Hal ini disebabkan oleh tiap periode mempunyai cakrawala harapan sendiri. Maka, menurut teori estetika resepsi para penyalin bukan hanya sekedar menyalin, melainkan menciptakan versi baru. Jadi menurut estetika resepsi tiap naskah itu dianggap asli__tidak perlu dicari Archetype-nya. Dalam penelitian berdasar metode estetika tanggapan, resepsi-resepsi pada tiap periode itulah yang harus diteliti.
Bila peneliti salah satu nasakah dari periode tertentu, maka resepsi pembaca pada periode itulah yang harus dikaji. Dikaji dari norma-norma, konkretisasinya berdasarkan norma-norma yang berlaku, dan juga pandangan-pandangan masyarakat pada periode itu. Susahnya dalam sastra lama ialah sudahnya mencari berita-berita mengenai semuanya , harus dicari di museum.

B. Penelitian Estetika Resepsi pada karya Sastra Modern
Penelitian resepsi karya sastra modern lebih mudah dari pada penelitian resepsi karya sastra lama, dalam arti bahwa tanggapan-tanggapan atas karya sastra modern masih mudah didapatkan sebab jarak antara peneliti dengan waktu terbitnya belum jauh sehingga naskahnya masih tersimpan dan secara relatif lebih mudah didapatkan.
Untuk meneliti karya sastra modern ini prinsipnya sama dengan penelitian resepsi karya sastra lama yaitu dengan metode seperti yang diungkapkan Segers (1978: 49). Misalnya, bila orang orang akan meneliti sajak-sajak Cairil Anwar, maka harus merekonsruksikan bermacam-macam konkretisasinya dalam masa sejarahnya. HB Jassin menanggapi sajak Cahiril Anwar yang sebelumnya pernah ada tanggapan dari redaktur majalah atau surat kabar, di antaranya Panji Poestaka diresepsi secara pragmatic, dikatakan sajak-sajak tidak mungkin dimuat, dalam “susunan dunia baru” tidak ada harganya sebab sajak-sajaknya individudualitis dan kebarat-baratan.

H.B Jassin menilai sajak-sajak Chairil anwar secara judicial expresif, yang memakai kriteria estetik dan ekstra estetik: dikatakan sajak-sajaknya revolusioner bentuk dan isi, meledak-ledak, melambung ketingggian mengamankan dan menerjunkan ke kedalaman yang mengerikan (1972:78). Chairil Anwar memberudara baru yang segar bagi sastra Indonesia. Jadi H.B Jassin memberi tanggapan secara posif kepada sajak-sakjak chairil Anwar, agar karyanya lebih bagus dari sebelumnya.

Bebeda dengan pendapat Sutan Takdir Alisahbana mengaggapi sajak Chairil Anwar. Tangggapannya dimuat dalam artikelnya “Penilaian Chairil Anwar Kembali” (alisjahbana, 1977: 139-180). Takdir menilai bahwa Chairil Anwar membawa suasana, gaya, ritme, tempo, nafas, kepekatan, dan kelincahan yang baru kepada sastra Indonesia. Karena penilaian yang pragmatis oleh Takdir Alisjahbana, yang menghendaki karya sastra berguna bagi pembangaunan bangsa, maka sajak-sajak yang pesimistis dan berisi pemberontakan itu diumpamakan sebagai rujak asam, pedas, asin yang bermanfaat untuk mengeluarkan keringat, namun tidak dapat dijadikan sari kehidupan manusia.





Sumber
 Prof. Dr. Rachmat Djoko Pradop:, Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik dan Penerapannya.
 Terry Eagleton: Teori Sastra ‘ sebuah pengatar Komperensif’

Tidak ada komentar:

Posting Komentar